Thursday 31 December 2009

GUS DUR DAN ACEH




Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia—Gus Dur


Indonesia kembali kehilangan tokoh bangsa. Abdurrahman Wahid atau yang lebih popular disapa Gus Dur menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rabu (30/12) sekitar pukul 18.55 WIB. Banyak hal yang patut dicatat dari tokoh yang penuh kontroversi ini, terutama jika dikaitkan dengan Aceh.


Bagi Aceh, Gus Dur di samping dianggap sebagai sosok yang meresahkan juga sebagai peletak dasar fondasi perdamaian. Meresahkan, karena dalam sejumlah pernyataannya, Gur Dur selalu menyinggung perasaan orang Aceh. Publik Aceh tentu belum lupa dengan pernyataan Gus Dur yang menyebut dirinya sebagai ‘nabi’nya orang Aceh. Selain itu, tuntutan referendum yang disuarakan rakyat Aceh dianggap angin lalu saja. Bahkan, dalam salah satu pernyataannya, Gus Dur mengklaim yang menuntut referendum hanya ratusan orang saja, padahal saat Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR), jutaan rakyat Aceh tumpah ruah ke Banda Aceh.

Tetapi, terlepas dari itu, Gus Dur juga peletak dasar perdamaian. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.


Lika-liku Gus Dur


Bagi sebagian masyarakat di Jawa, Gus Dur bukanlah sosok biasa. Di tubuhnya mengalir darah orang-orang yang berperan penting di balik kelahiran bangsa Indonesia. Sebagai cucu Syeikh Hasyim Asy’ari, kiprahnya di panggung politik Indonesia sangat menentukan. Banyak lika-liku yang dilaluinya untuk tampil sebagai tokoh bangsa yang berpengaruh. Perjalanan sejarahnya sebagai Ketua PBNU, banyak menyimpan kisah dan cerita sehingga selalu menarik ditelaah. Sikapnya yang selalu oposan dan mengeritik penguasa, membuat dia sangat dimusuhi oleh Soeharto, presiden yang sangat berkuasa waktu itu. Ketidaksenangan penguasa terhadapnya, terlihat dari beberapa kali konspirasi untuk menjegal terpilihnya kembali sebagai ketua PBNU.

Dalam muktamar NU ke-28 di Yogyakarta Tahun 1989, misalnya, mempertegas garis permusuhannya dengan penguasa secara frontal. Muktamar itu merupakan awal bagi Gus Dur vis a vis dengan Soeharto (penguasa). Soeharto yang mulai gerah dengan berbagai sepak terjang yang dilakukan Gus Dur, melakukan manuver-manuver dan konspirasi agar Gus Dur tidak terpilih lagi sebagai ketua PBNU. Hasilnya, di luar dugaan, Gus Dur menjadi calon tunggal dan terpilih secara telak.

Terpilihnya Gus Dur, membuka front yang lebih frontal lagi dengan Soeharto. Bahkan, Gus Dur menyebut Soeharto sebagai orang bodoh dalam buku A Nation in Waiting karya Adam Schwarz, jurnalis asal Australia. Dalam buku ini, di antaranyan dikatakan: “Presiden Soeharto mengabaikan pendapat Abdurrahman Wahid adalah karena kebodohannya dan karena ketidak-inginan presiden akan adanya orang yang berada di luar kendalinya tumbuh menjadi kuat. (Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, dalam biografi hal 22, Grasindo, 1999).

Sikap kritis Gus Dur ini, membuat Soeharto menggarap secara serius penjegalannya menjadi ketua PBNU dalam Muktamar Cipasung tahun 1994. Ternyata Gus Dur bermain cukup cantik dengan mengatakan dirinya tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai ketua PBNU. Melihat permainan Soeharto yang cukup kencang dan serius, Gus Dur membuat keputusan mendadak menjelang tiga bulan akan berlangsungnya muktamar Cipasung. Lagi-lagi, dalam muktamar ini Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU.

Tahun 1999 lalu, Gus Dur juga membuat kejutan. Padahal, dalam berbagai pernyataan di media Gus Dur selalu mengatakan mendukung Megawati menjadi presiden. Namun, berkat strategi yang dibangun partai-partai berbasis Islam yang dikomandani Amien Rais, Gus Dur menjadi presiden kejutan MPR. Gus Dur, saat itu dibutuhkan karena dianggap punya kharisma untuk menjadi lawan kuat Megawati. Semua pihak membutuhkan Gus Dur untuk meloloskan kepentingan politik beberapa politisi di Parlemen.

Sayangnya, usahanya untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2004, mental, karena tidak memenuhi syarat kesehatan. Gus Dur dianggap tidak memenuhi kelayakan seorang presiden yang harus sehat jasmani dan rohani.


Jasa untuk Aceh


Tak ada yang diingat oleh orang Aceh pada sosok Gus Dur, kecuali pernyataannya yang menyakiti perasaan umat Islam Aceh dengan menyebut dirinya ‘nabi’ orang Aceh. Sehingga dirinya sangat memahami tuntutan orang Aceh. Sontak, pernyataan itu membuatnya dikecam. Dalam suatu pertemuan di tahun 1999 di Kampus Darussalam, Gus Dur pernah diusir dalam sebuah forum.

Tetapi, jasanya terhadap Aceh juga tak sedikit. Saat pemerintahannya, bahkan Aceh hampir mendapatkan kemerdekaan. Saat itu, pasca SU MPR Aceh, 8 November 1999, saat seluruh Aceh mabuk dalam euphoria referendum, Presiden Gus Dur yang sedang melawat ke Pnom Phen, Kamboja, merespon tuntutan rakyat Aceh dengan mengatakan, “Kalau boleh ada referendum di Timor-Timur kenapa di Aceh tidak boleh? Itu tidak adil namanya.”



Nanggroe Aceh Darussalam



Bentuk keseriusannya untuk menyelesaikan Aceh, Gus Dur menjanjikan pelaksanaan referendum di Aceh akan digelar tujuh bulan lagi, pasca protes massal rakyat Aceh yang menuntut referendum dengan opsi merdeka. Meski, banyak publik di Aceh menyakini hal itu hanya trik Gus Dur mengulur-ulur waktu untuk meredam kemarahan orang Aceh.

Sebagai tokoh yang melampaui zamannya, Gus Dur cukup paham dengan bentuk kemarahan yang ditunjukkan oleh orang Aceh. Menurutnya, tuntutan rakyat Aceh, meskipun cukup serius, harus ditanggapi, meski harus berbohong sekalipun. Saat itu, sikap Gus Dur terpecah. Di satu sisi, dia sebagai seorang demokrat sejati, yang percaya bahwa aspirasi rakyat merupakan suatu yang harus didengarkan. Namun, di pundaknya pula nasib Indonesia yang baru terlepas dari diktatorian, harus dipertahankan dari perpecahan. Banyak pihak yang mewanti-wanti agar Gus Dur tidak mengikuti jejak Presiden BJ Habibie yang memerdekakan Timor-Timur.

Dalam suatu wawancara dengan Radio Netherland, Gus Dur berujar, “Sebagai seorang Demokrat saya tidak bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.”

Dan Gus Dur tak bisa mengelak. Meski Aceh tak dibiarkan merdeka, tetapi dia sudah memprakarsai penyelesaian Aceh di meja perundingan, dengan menghentikan pertumpahan darah dengan lahirnya Jeda Kemanusiaan. Hingga dilengserkan dari kursi presiden, Gus Dur belum membiarkan rakyat Aceh menentukan nasib sendiri, seperti janjinya.

Kini, Gus Dur telah tiada. Sosoknya yang kontroversial pergi bersama tugas-tugas yang belum selesai, termasuk mungkin menulis pengantar untuk buku “Ilusi Negara Islam”. Selamat jalan, Gus!




Dipetik dari sumber; http://jumpueng.blogspot.com








Read more...

Tuesday 29 December 2009

BADAN PERUNDANGAN LEGISLATIF MALAYSIA; DEWAN RAKYAT


Dalam sesebuah negara, mesti mempunyai sistem pemerintahan yang tersendiri, mengikut kesuasuaian masyarakat dan kehendak pemerintah. Bagi sistem demokrasi, mempunyai dua corak pemerintahan negara demokrasi iaitu sistem raja berperlembagaan dan sistem republik. Sistem raja berperlembagaan ialah sistem pemerintahan yang mengekalkan raja (Yang di-Pertuan Agong sebagai pemerintah tertinggi Negara dan negeri dan dibantu oleh seorang Perdana Menteri. Manakala sistem republik ialah sistem yang menolak institusi raja dan ketua negara bagi kerajaan bercorak republik diketuai oleh Presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pilihanraya. Sistem ini berlaku di Perancis, Korea Selatan, India, Indonesia, dan Filipina. Bagi seorang Presiden dalam sistem ini mempunyai dua jawatan iaitu Ketua Negara dan Ketua Kerajaan.


Yang di-Pertuan Agong

Jawatan Yang di-Pertuan Agong bukanlah jawatan yang diwarisi turun temurun. Malaysia mengamalkan sistem kerajaan Raja Berperlembagaan dalam demokrasi berparlimen pada dua peringkat iaitu peringkat Persekutuan dan peringkat Negeri. Pada peringkat Persekutuan, Ketua Negara ialah Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong, sementara ketua kerajaan ialah Perdana Menteri. Pada peringkat negeri pula, ketua negeri dikenali dengan pelbagai nama seperti Sultan, Raja atau Yang di-Pertuan Besar juga Yang Dipertua Negeri sementara ketua kerajaan pula ialah Menteri Besar atau Ketua Menteri. Kuasa perundangan Persekutuan adalah terletak kepada Parlimen yang mengandungi Yang di-Pertuan Agong dan dua majlis yang dinamakan Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Oleh kerana Yang di-Pertuan Agong adalah sebahagian daripada komponen Parlimen, maka baginda mempunyai kuasa-kuasa berikut:

  • Memanggil Parlimen bermesyuarat dari masa ke semasa;
  • Memberhentikan dan membubarkan Parlimen;
  • Boleh memberi ucapan dalam mana-mana Majlis Parlimen dalam kedua-dua Majlis Parlimen bersama; dan
  • Memperkenankan Rang Undang-Undang.

Yang di-Pertuan Agong juga mempunyai kuasa untuk melantik dua orang senator untuk Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan seorang untuk Wilayah Persekutuan Labuan. Di samping itu baginda juga mempunyai kuasa untuk melantik empat puluh orang senator lagi.

Para senator yang dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong ini adalah, pada hemat baginda, terdiri daripada orang-orang yang terkemuka dalam masyarakat dan banyak memberi sumbangan kepada masyarakat. Selain dari tokoh-tokoh yang terkemuka dalam bidang ikhtisas seperti perdagangan dan industri, pertanian, kegiatan kebudayaan dan sosial, tokoh-tokoh yang mewakili kaum minoriti seperti orang asli juga dipilih[i].

Parlimen


Malaysia telah memilih dan mengamalkan sistem pemerintahan demokrasi dan raja berperlembagaan sejak negara mencapai kemerdekaan pada tahun 1957.[ii] Dalam sistem berparlimen, badan perundangan yang tertinggi kuasanya ialah parlimen. Negara-negara yang mengamalkan sistem ini ialah Britain, Jepun, Malaysia, dan India. Parlimen terdiri daripada ahli-ahli yang dipilih dalam pilihanraya umum, yang selalunya diadakan sekurang-kurangnya lima tahun sekali. Parlimen (legislature) ialah badan yang mewakili rakyat untuk membuat undang-undang negara. Tugasnya ialah menggubal undang-undang dan dasar-dasar melalui kuasa yang diberi kepadanya oleh undi rakyat.[iii]

Sistem demokrasi berparlimen terbahagi kepada dua, iaitu satu dewan dan dua dewan. Pertama, dewan yang yang dipilih oleh orang ramai melalui pilihanraya umum dan yang kedua, dewan yang ahli-ahlinya dilantik oleh ketua negara: atau institusi-institusi tertentu yang ditugaskan oleh perlembagaan untuk berbuat sedemikian. Britain, India dan Malaysia adalah contoh negara yang mempunyai sistem seperti ini. Singapura, Denmark dan Sweden mempunyai hanya satu dewan yang ahli-ahlinya dipilih secara langsung oleh pengundi.



Prosedur pembentukan Undang-Undang Negara


Parti atau gabungan parti-parti yang mempunyai majoriti kerusi dalam parlimen akan membentuk kerajaan. Kerajaan ini yang akan mengemukakan dasar-dasar dan rang undang-undang untuk perbahasan dan keputusan. Ahli-ahli parlimen biasa, termasuk pembangkang, boleh juga membentangkan rang undang-undang tetapi lazimnya ini dilakukan oleh parti yang memerintah. Rang undang-undang ini diteliti oleh parlimen. Setiap rang undang-undang melalui tiga tahap – bacaan pertama, di mana rang undang-undang tersebut diedarkan kepada ahli-ahli parlimen; bacan kedua, di mana perbahasan umum diadakan; dan bacaan ketiga, di mana rang undang-undang itu dikaji fasal demi fasal. Selepas diluluskan oleh dewan rakyat, rang undang-undang tersebut akan dikemukakan di dewan kedua pula, (dipanggil senat, dewan negara dan sebagainya) iaitu bagi parlimen yang mempunyai dua dewan. Di senat perbincangan juga diadakan di tiga peringkat bacaan. Selepas diluluskan oleh senat rang undang-undang itu dikemukakan kepada ketua negara-raja atau presiden untuk ditandatangani. Selepas ditandatangani dan digazetkan ia dianggap sebagai rang undang-undang. Undang-undang ini akan disebut sebagai Akta[iv].



Prosedur Perundangan Malaysia


Oleh kerana kabinet yang mengemukakan rang undang-undang dan dasar-dasar, sama ada dalam bidang pendidikan, pertahanan atau pembangunan ekonomi, maka kabinetlah yang sebenarnya merupakan penggubal undang-undang. Ahli-ahli kabinet memainkan peranan utama dalam perdebatan dan perbincangan tentang sesuatau dasar itu. Tetapi menteri-menteri kabinet bukan sahaja berperanan dalam proses perundangan, mereka juga mengetuai kementerian-kementerian yang melaksanakan dasar-dasar yang diluluskan oleh parlimen. Sebagai contoh, menteri pengangkutan bukan sahaja bertanggungjawab menggubal dasar-dasar pengangkutan, beliau juga yang menyelia dasar-dasar itu dilaksanakan oleh pegawai-pegawai kerajaan (atau birokrasi). Menteri-menteri dan birokrasi (pentadbiran) kedua-duanya bertanggungjawab melaksana. Badan perlaksanaan ini dipanggil eksekutif dan pentadbiran awam[v].



Prosedur Pembentukan Undang-undang Negeri


Manakala bagi negeri, Parti atau gabungan parti-parti yang mempunyai majoriti kerusi dalam DUN (Dewan Undangan Negeri) akan membentuk kerajaan. Kerajaan ini yang akan mengemukakan dasar-dasar dan usul untuk perbahasan dan keputusan. Ahli-ahli DUN biasa, termasuk pembangkang, boleh juga membentangkan usul tetapi lazimnya ini dilakukan oleh parti yang memerintah. Rang Undang-undang ini diteliti oleh DUN. Setiap usul melalui tiga tahap – bacaan pertama, di mana usul tersebut diedarkan kepada wakil rakyat; bacan kedua, di mana perbahasan umum diadakan; dan bacaan ketiga, di mana rang undang-undang itu dikaji fasal demi fasal. Selepas diluluskan oleh Dewan Undangan Negeri, Usul tersebut akan dikemukakan kepada Sultan untuk diperkenankan. Undang-undang yang terbentuk di DUN akan disebut sebagai Enakmen. Enakmen yang diluluskan tidaklah bercanggah dengan perlembagaan Negara. Namun kekuasaan negeri hanya terbatas kepada Adat Istiadat Melayu, Tanah, perlombongan dan Hal-ehwal Agama Islam.

Legislature (perundangan) dan ekskutif adalah dua cabang terpenting dalam sistem pemerintahan demokrasi berparlimen. Walaupun dua badan ini berbeza daripada segi fungsi dan kedudukan undang-undang, daripada segi lain pula mereka mempunyai hubungan sangat rapat. Menteri-menteri kabinet memainkan peranan utama dalam kedua-dua badan ini. Itulah sebabnya apa yang berlaku dalam sistem demokrasi berparlimen ini selalu digelar sebagai satu “fusion of power” ataupun satu “percantuman kuasa” Justeru itu juga ada ahli teori yang mengatakan bahawa sistem demokrasi berparlimen adalah bertentangan dengan semanagat konsep pengasingan kuasa dalam teori demokrasi liberal.[vi]



Dewan Rakyat; Kewenangan dan Hak-Hak



Dewan Rakyat ialah dewan rendah bagi Parlimen Malaysia. Semua rang undang-undang perlulah diluluskan oleh kedua-dua dewan parlimen - Dewan Rakyat dan Dewan Negara - sebelum dihantar kepada Yang di-Pertuan Agong untuk mendapat perkenan diraja.[1] Ahli-ahli Dewan Rakyat juga dikenali sebagai Ahli Parlimen dan Ahli Yang Berhormat. Sepertimana Dewan Negara, Dewan Rakyat bersidang di Bangunan Parlimen Malaysia di Kuala Lumpur.

Tugas


Status Dewan Rakyat diterangkan di dalam Perlembagaan Persekutuan seperti berikut: "Kuasa perundangan Persekutuan hendaklah terletak hak pada Parlimen yang hendaklah terdiri daripada Yang di-Pertuan Agong dan dua Majlis Parlimen yang dikenali sebagai Dewan Negara dan Dewan Rakyat." Kuasa memanggil dewan bersidang dijelaskan di dalam Perlembagaan sebagai hak dan tanggungjawab Yang di-Pertuan Agong. Baginda tidak boleh membiarkan enam bulan dari tarikh terakhir persidangan berlalu tanpa ada tarikh tetap untuk sesi bersidang seterusnya.


Pembubaran


Dewan Rakyat bersidang selama maksimum lima tahun dan kemudian terbubar sendiri melainkan jika dibubarkan lebih awal dari itu. Kuasa pembubaran ini terletak di bawah budi bicara Yang di-Pertuan Agong. Baginda boleh membubarkan parlimen walaupun sesi perkhidmatannya masih lagi awal ataupun jika Perdana Menteri tidak lagi memiliki keyakinan dan kepercayaan majoriti ahli-ahli dewan kerana tewas samada melalui undi percaya atau meluluskan belanjawan. Namun begitu, Yang di-Pertuan Agong juga boleh melantik seorang ahli parlimen lain yang menurut budi bicaranya boleh memiliki keyakinan dan kepercayaan ahli-ahli dewan lain.


Perdana Menteri, yang lazimnya mengetuai parti politik atau kumpulan parlimen yang memiliki jumlah kerusi terbanyak bertanggungjawab mengetuai badan eksekutif yang mentadbir negara ini. Beliau turut berhak melantik ahli daripada kedua-dua dewan di parlimen untuk menganggotai Jemaah Menteri.[8] Badan eksekutif ini berperanan membawa atau mencadangkan satu-satu undang-undang untuk dibahas, dikaji dan diluluskan oleh parlimen.


Hak istimewa



Ahli-ahli Parlimen diberi kebebasan dan keistimewaan untuk memperkatakan sesuatu perkara tanpa rasa gusar atau dikecam di luar dewan; satu-satunya badan yang boleh mengecam seseorang ahli parlimen ialah Jawatankuasa Parlimen bagi Hak dan Kebebasan. Kekebalan parlimen ini berkuatkuasa serta-merta setelah seseorang itu mengangkat sumpah menjadi ahli parlimen dan hanya boleh digunapakai ketika ahli tersebut dibenarkan bersuara. Kekebalan ini tidak boleh dipakai ke atas kenyataan-kenyataan yang dibuat di luar dewan. Satu pindaan telah dibuat di bawah Perkara 63 Perlembagaan berikutan Peristiwa 13 Mei dengan penambahan Perenggan 4 yang menidakkan Fasal 2 Perlembagaan yang secara amnya memberikan hak-hak kebebasan asasi. Perenggan 4 itu menerangkan bahawa sesiapapun termasuk ahli Parlimen yang berucap di Dewan Rakyat boleh didakwa jika melakukan kesalahan di bawah Fasal 4 Perkara 10 atau di bawah Akta Hasutan 1948. Selain itu ahli-ahli Parlimen juga kehilangan hak-hak istimewanya jika menganjurkan penghapusan kedudukan Yang di-Pertuan Agong atau mana-mana Raja di negeri-negeri.



Proses menggubal undang-undang



Sesebuah undang-undang yang ingin dicadangkan mestilah disediakan rangkanya terlebih dahulu - kebiasaannya oleh Jemaah Menteri atau sesebuah kementerian dengan dibantu oleh Jabatan Peguam Negara. Rangka tersebut yang dikenali sebaga rang undang-undang kemudiannya dikaji dan dibincang bersama-sama oleh Jemaah Menteri. Jika diputuskan untuk dicadangkan ke parlimen, rang itu kemudiannya akan diagih-agihkan kepada semua ahli-ahli dewan rakyat.


Rang ini akan melalui tiga bacaan dalam persidangan Dewan Rakyat.

  1. Bacaan pertama adalah untuk memperkenalkan rang undang-undang tersebut.
  2. Bacaan kedua untuk dibincang dan dibahas oleh ahli-ahli yang berhormat.
  3. Bacaan ketiga akan dicadangkan oleh menteri atau timbalannya untuk dibuat satu undian ke atas rang undang-undang ini.


Kebanyakan undang-undang hanya memerlukan sokongan majoriti mudah untuk diluluskan. Namun, dalam beberapa keadaan, majorit dua pertiga adalah diperlukan, seperti dalam hal-hal berkaitan meminda perlembagaan. Setelah diluluskan oleh Dewan Rakyat rang undang-undang itu kemudiannya dihantar ke Dewan Negara dan tiga bacaan yang diterangkan sebelum ini akan dilakukan sekali lagi. Dewan Negara boleh bertindak untuk tidak meluluskan satu-satu rang undang-undang. Walaubagaimanapun, langkah ini hanya melambat-lambatkan kelulusan dibuat selalunya selama sebulan dan kadang-kadang setahun. Setelah tempoh ini tamat, rang undang-undang in dianggap telah diluluskan oleh Dewan Negara.


Jika diluluskan, rang undang-undang itu akan dipersembahkan kepada Yang di-Pertuan Agong untuk dipertimbangkan dalam tempoh 30 hari. Jika baginda tidak bersetuju, rang undang-undang itu akan dikembalikan ke parlimen bersama-sama dengan beberapa cadangan pindaan. Parlimen kemudiannya harus mengkaji semula rang undang-undang tersebut dan pindaanya dan mengembalikannya semula kepada Yang di-Pertuan Agong jika rang undang-undang itu diluluskan semula. Yang di-Pertuan Agong mempunyai 30 hari lagi untuk memberikan perkenan diraja. Setelah tempoh itu, rang undang-undang tersebut dianggap telah diluluskan sebagai undang-undang yang boleh berkuatkuasa. Undang-undang ini hanya akan berkuatkuasa setelah dimasyhurkan di dalam Warta Kerajaan.[12]


Kerajaan sering memelihara kerahsiaan sesebuah rang undang-undang yang akan dibahaskan. Ahli-ahli parlimen sering menerima salinan rang undang-undang beberapa hari sebelum dibahaskan dan akhbar-akhbar tempatan jarang menerima salinan tersebut. Dalam sesetengah kes, ahli-ahli dewan pernah diberikan salinan pada hari yang sama sesebuah rang undang-undang itu dibentang di parlimen. Contoh terbaik adalah sewaktu Pindaan Perlembagaan 1968 yang dilakukan tiga bacaan pada hari yang sama. Dalam kes yang agak jarang berlaku, kerajaan pernah mengeluarkan satu Kertas Putih yang mengandungi cadangan-cadangan kerajaan yang akhirnya diluluskan sebagai undang-undang. Kes ini merujuk kepada penggubalan Akta Universiti dan Kolej Universiti 1971.



Rang Undang-undang Persendirian



Proses sebelum ini hanya menerangkan langkah-langkah sesebuah undang-undang itu dibawa oleh pihak kerajaan. Namun begitu, wujud satu lagi proses yang dipanggil Rang Undang-undang Persendirian yang memberi peluang kepada ahli-ahli dewan mencadangkan undang-undang baru untuk dibahas di parlimen. Walaupunbegitu, sebagaimana yang sering menjadi amalan di dalam sistem parlimen ala Westminster, hanya sedikit bilangan ahli parlimen yang pernah memperkenalkan rang undang-undang. Proses ini dimulakan dengan ahli yang terbabit memohon dewan untuk berhenti daripada meneruskan persidangan bagi membahaskan rang undang-undang yang ingin dibawanya sebelum diputuskan dalam undian. Senator dari Dewan Negara juga dibenarkan untuk mencadangkan rang undang-undang di parlimen. Tetapi hanya wakil kerajaan sahaja dibenarkan mencadangkan rang undang-undang berkaitan hal-ehwal kewangan dan ini perlu dilakukan di Dewan Rakyat terlebih dahulu.[13]


Seringkali sesebuah rang undang-undang yang dicadangkan oleh wakil pembangkang, yang harus menggunakan Rang undang-undang Persendirian, sering dipandang remeh oleh parlimen. Sesetengahnya sampai pernah mendakwa bahawa hak-hak ahli parlimen untuk mencadangkan rang undang-undang telah dihalang melalui pindaan terhadap Aturan Urusan Mesyuarat yang membenarkan Yang di-Pertua dewan meminda cetakan ucapan ahli parlimen sebelum ianya dapat diucapkan.



Keahlian



Setiap ahli Dewan Rakyat dipilih untuk mewakili satu kawasan parlimen melalui pilihanraya pelbagai parti. Kawasan ini ditentukan melalui pensempadanan kawasan pilihanraya yang dijalankan setiap lapan tahun sekali setelah dicadangkan oleh Suruhanjaya Pilihanraya. Pensempadanan semula kawasan parlimen ini hanya boleh diluluskan di Dewan Rakyat dengan mendapat sokongan daripada sekurang-kurang dua pertiga ahli-ahli dewan.

Kelayakan menjadi ahli adalah seperti berikut:

  • warga negara Malaysia
  • tidak kurang dari 21 tahun
  • waras fikiran
  • bukan seorang muflis
  • tidak memegang jawatan berpendapatan
  • telah menyerahkan apa-apa penyata perbelanjaan pilihan raya sebelum ini, jika pernah bertanding
  • tidak mempunyai rekod jenayah

Seorang ahli tidak boleh memegang jawatan kedua-dua Dewan Rakyat dan Dewan Negara dalam satu masa.

Sebelum memegang sebarang kerusi dalam Parlimen, setiap ahli dimestikan mengangkat sumpah di hadapan Yang di-Pertua Dewan Rakyat. Ahli tersebut hendaklah bersumpah atau berjanji bahawa mereka akan taat menjalankan tugas-tugas mereka sebagai ahli Dewan sebaik yang mungkin dan taat setia kepada Malaysia serta mematuhi, menjaga dan mempertahankan Perlembagaan.



Yang di-Pertua


Dewan Rakyat dipengerusikan oleh seorang Yang di-Pertua dan dibantu oleh dua orang Timbalan Yang di-Pertua. Yang di-Pertua tidak semestinya dipilih di kalangan ahli-ahli parlimen tetapi timbalan-timbalannya haruslah dipilih di kalangan anggota-anggota Dewan Rakyat yang lain.[25] Mereka berperanan besar mempengerusikan persidangan Dewan Rakyat. Selain itu, Yang di-Pertua turut bertanggungjawab memastikan keadaan tenteram di parlimen selain berusaha sebaik mungkin utuk melicinkan perjalanan persidangan.

Yang di-Pertua Dewan Rakyat bagi Parlimen ke-12 ketika ini ialah Tan Sri Pandikar Amin Mulia dari Barisan Nasional. Beliau, yang merupakan Speaker Dewan Rakyat yang ke-8 dan tidak mempunyai kerusi di parlimen adalah penjawat pertama dari negeri Sabah. Timbalan-timbalannya ialah Yang Berhormat Datuk Dr. Wan Junaidi bin Tuanku Jaafar (Santubong-BN) dan Yang Berhormat Datuk Ronald Kiandee (Beluran-BN).



Pilihan raya


Ahli-ahli Dewan Rakyat berkhidmat selama maksimum lima tahun bagi satu-satu sesi parlimen. Selepas itu pilihanraya mesti diadakan bagi memilih ahli-ahli baru. Pembubaran parlimen hanya boleh dilakukan oleh Yang di-Pertuan Agong setelah mendapat nasihat daripada Perdana Menteri.

Pengundi-pengundi akan memilih seorang wakil rakyat daripada setiap 222 bahagian pilihan raya.[26][27] Pilihanraya di Malaysia dijalankan oleh Suruhanjaya Pilihan Raya yang keahliannya dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong setelah selepas berunding dengan Majlis Raja-raja.[28] Pemenang pilihanraya selalunya ditentukan menggunakan prinsip majoriti tertinggi - calon yang mendapat undi terbanyak berbanding calon-calon lain - yang turut diamalkan di dalam sistem berparlimen ala Westminster.[29]



Pembentukan kerajaan


Parti politik atau gabungan parti-parti politik yang memenangi kerusi terbanyak di Dewan Rakyat berhak untuk membentuk kerajaan yang baru. Kerajaan akan diketuai oleh seorang ahli parlimen yang memiliki sokongan majoriti dewan dan beliau dipanggil Perdana Menteri. Namun begitu, Perdana Menteri Malaysia tidak dilantik oleh ahli-ahli parlimen. Jawatan ini hanya boleh dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong dengan mengikut budi bicara baginda unuk memilih seorang ahli Dewan Rakyat yang dirasakan mendapat sokongan terbanyak ahli-ahli di Dewan Rakyat.


Pilihan raya kecil


Mengikut Undang-undang Pilihanraya, jika seseorang Ahli Parlimen terpaksa mengosongkan kerusinya dengan apa jua sebab sekalipun sewaktu Dewan Rakyat berada di awal sesi perkhidmatannya dan tidak kurang daripada dua tahun sebelum dewan terbubar, satu pilihan raya kecil perlu diadakan bagi memenuhi kekosongan tersebut. Jika kekosongan itu berlaku kurang dari dua tahun sebelum dewan terbubar pula, pilihanraya kecil hanya boleh diadakan jika Yang di-Pertua Dewan Rakyat telah memastikan bahawa sokongan majoriti terhadap parti kerajaan telah terjejas.[31] Proses dan penganjuran satu pilihan raya kecil adalah sama seperti pilihan raya umum dijalankan. Kebanyakan pilihan raya kecil adalah kurang penting kerana kerajaan seringkali memiliki majoriti stabil di Dewan Rakyat. Namun begitu, pilihan raya kecil boleh dijadikan kayu pengukur terhadap prestasi semasa kerajaan.



[i] www.malaysianmonarchy.org.my/portal

[ii] Akshah Ismail, Focus Super Spm Sejarah, Pelangi Publishing Group Bhd : Kuala Lumpur. Hlm 360

[iii] Ibid, Hlm 361

[iv] http://www.scribd.com/doc/4912882/Demokrasi-Berparlimen














Read more...