Thursday 30 April 2009

KONSEP SIYASAH: KONSTITUSI, LEGISLASI, UMMAH DAN SYURA

Sebagai Pengantar, sistem politik Islam juga disebut sebagai Siyasah. Siyasah juga terbahagi kepada dua iaitu:

a. Siyasah Wadh’iyah: Iaitu siyasah yang dikenal berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta hasil oleh pemikiran manusia dalam mengatur hidup manusia bermasyarakat dalam Negara.

b. Siyasah Syar’iyyah: Iaitu Siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia mengikut etika agama dan moral dan memerhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup bermasyarakat dan bernegara.

A. Konstitusi

Perpaduan antara politik dan agama yang merupakana akibat lagsung dari hakikat teologi Islam jugs terungkap dalam kawasan teori konstitusioanal.

AI-Quran sebagai undang-undang, perilaku keagamaan, tetapi yang lebih tinggi, kitab suci itu merupakan hukum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi Negara Islam.

Sumber hukum konstitusi Islam yang kedua yang tidak kalah penting adalah Sunah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad saw, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada sernua. manusia.

Sumber hukum konstitusi Islam yang ke tiga adalah Ijma' yang berarti kesepakatan universal atau kosensus yang bersifat umum. Ijma' melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hukum tentang suatu masalah tertentu.

Sedangkan sumber hukum konstitusi yang ke empat adalah Qiyas yaitu metode yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu. Dalam Islam metode ini digunakan untuk memperluas hukum­hukum syariab yang bersifat umum kepada berbagai kasus individu yang tak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang telah dijelaskan dalam Qur'an dan Sunnah.[i]

B. Legislasi

Di dalam Islam, Legislasi ( perundang-undangan ) terbagi ke dalam empat bentuk;

1. Interpretasi

Dalam masalah-masalah tertentu, Al-Quran clan Al-sunnah telah meletak perintah-perintah yang jelas atau tersamar untuk mewajibkan aturan bertindak tertentu. Untuk masalah-masalah ini, tidak ada seorang ahli hukum, hakim,badan legislatif, bahkan ummat secara keseluruhan yang diperbolehkan mengubah ketentuan-ketentuan Syariah tertentu atau aturan yang telah digariskannya. Tetapi hal ini berati bahwa manusia tidak diberi jatah untuk melaksanakan fingsi legislasinya. Peran manusia disini adalah sebagai berikut :

a. secara tepat dan cermat mencari apa sebenarnya hukum tersebut; hakikat dan isinya,

b. menentukan makna dan maksudnya,

c. menyelidiki syarat-syarat yang dikehendakinya dan cars penerapannya dalam masalah-masalah praktek,

d. menggarap rincian-rinciannya dalam kasus hukum-hukum untuk penerapan secara langsung dalam praktek kehidupan sehari-hari, dan

e. menentukan sampai sejauh mana hukum-hukum tertentu dapat diterapkan dan tidak dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi perkecualian.

2. Analogi ( Qiyas )

Kemudian ada jenis-jenis masalah yang meskipun didalam syariah belum digariskan tetapi ada isyarat yang terjadinya beberapa situasi yang sifatnya analog. Dalam situasi semacam ini fungsi pembentukan undang-undang akan menerapkan perintah-perintah, serta memahami secara tepat alasan-alasan serta penyebab­penyebab yang mendasarinya, untuk masalah yang benar-benar memiliki hubungan­hubungan sebab-akibat serta menghindari penerapan aturan-aturan ini jika tidak ada hubunagn sebab-akibat itu.

3. Inferensi

Masih ada lagi katagori masalah manusia yang di dalam syariah tidak ada tuntutannya tetapi diganti dengan prinsip-prinsip umum atau pengisyaratan atas kehendak Pemberi Hukum mengenai spa yang harus digalakkan dan spa yang harus ditutup kemungkinan tedadinya. Untuk masalah-masalah semacam ini, fungsi pembentukan undang-undang disini adalah memahami prinsip-prinsip syariah serta kehendak Pemberi Hukum tersebut dan merumuskan hukum-hukum mengenai masalah-masalah praktek yang didasarkan pads prinsip-prinsip ini, serta yang memenuhi kehendak Pemberi Hukum.

4. Wilayah Legislasi yang Independen

Terlepas dari ketiganya, masih ada rangkaian Was masalah manusia yang tidak diungkit-ungkit oleh syariah. Syariah tidak memberikan isyarat secara langsung maupun tuntutan jelas bagi situasi-situasi indentik maupun sejenis yang sedemikian rupa sehingga kita mampu menggali suatu inferensi analogis didalamnya. Sikap syariah ini sendiri ini merupakan petunjuk bagi kenyataan bahwa Pemberi-Hukum telah menyerahkannya kepada umat manusia; untuk memutuskan masalah-masalah berdasarkan kecenderungan serta pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri. Dengan demikian, untuk kasus-kasus semacam ini kita dapat menerapkan pembentukan undang-undang secara mandiri sepanjang sesuai dengan semangat Islam yang benar dan prinsip-prinsip umumnya, serta yang lebih penting lagi, tidak bertolak belakang dengan pola umum serta temperamen Islam. Perundang-undangan ini harus secara alamiah dan wajar sejalan dengan rancanang ideologi Islam secara Umum[ii].

C. Ummah

Kata-kata umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan pertama, kata umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burungpun disebut umat, semut yang berkeliaran pun jugs bisa disebut umat dari umat-umat Allah. Lapisan kedua, kata umat berarti umat manusia secara keseluruhan. Lapisan ketiga, kata umat berarti suatu kemunitas manusia. Dalam lapisan ini bare bisa dibedakan antara umat Islam dan umat non-muslim[iii].

Konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep Ummah atau komunitas orang-orang beriman.

Permulaan kata Ummah diterjemahkan sebagai suatu kesatuan yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim. Jika tubuh Ummah yang konkret muncul ke permukaan sebagai suatu konsep kehidupan dengan mempert-imbangkan budaya, maka Ummah dapat berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan memN&uat-1esaU_dan kekuatan. Jadi, konsep tersebut berperan sebagai simbul kesatuan dan kekuatan yang mewujudkan kesatuan secara bersamaan.

Menurut makna istilah, Ummah “meliputi totalitas (jamaah ) individu-individu yang Baling terkait oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras. Di dalam Ummah itu segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Dihadapan Allah, semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas atau ras. "

Sedangkan makna Ummah dalam arti lebih luas tidak hanya terbatas pads masyarakat madinah. Dalam dokumen yang disebut " Konstitusi Madinah" istilah Ummah digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian dokumen:

a. pada bagian awal istilah itu digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman; dan

b. pada bagian kedua, kata itu diartikan sebagai masyarakat persekutuan secara umum.

Namun demikian, corak dengan masyarakat non-muslim itu dipandang tidak merubah keunikan dasar dan kekhususan umat Islam.

Sisi paling penting peran Ummah sama dengan solidaritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu dalam Islam adalah tingkat solidaritasnya yang tinggi. Bentuk solidaritas itu tid masyarakat dengan faktor-faktor yang umum seperti wilayah, budaya dan bahasa ( faktor-faktor yang lazim ada pads sebuah bangsa ). Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas organik ( keluarga ) yang menciptakan dan berupaya menggayuh tujuan yang bersifat umum dan menghendaki parsitifasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas ( kewajiban ) masing-masing [iv].

D. Syura

Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah SWT telah mewajibkan berlakunya sistern syura kepada umat manusia dalam dun ayat Al-Quran. Teks kedua ayat tersebut cukup jelas dalam mewajibkan untuk mengikuti prinsip syura. Ayat pertama disampaikan dalam bentuk perintah terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura. Jika demikian, tentu umatnya lebih pantas untuk diperintah melakukannya. Sementara ayat yang kedua menerangkan bagaimana sifat utama dari kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan dan memutuskan permasalahan dengan selalu saling memahami satu sama lainnya dan saling tukar pikiran melalui syura[v].

Firman Allah SWT, dalam surah Ali Imran : 159, yaitu Artinya :

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap kerns lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karen itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu..”.

Ayat kedua, dalam surah asy-syuura : 36-38, yaitu

Artinya :

“ maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup didunia; dan yang ada pads sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan ( bagi ) orang-orang yang menjahui doss-doss besar dan pebuatan­perbuatan keji, dan apabila mereka marsh mereka memberi manfaat. Dan ( bagi ) orang-orang yang menerima ( mematuhi ) seruan Tithannya dan mendirikan shalat, Belong urusan mereka ( diputuskan ) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kamu berikan kepada mereka ".

Dalam ayat itu menjelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin diantara yang lain adalah bermusyawarah dengan yang lainnya.

Ada juga beberapa hadits yang menyuruh dan memperkuat pentingnya bermusyawarah, juga menjelaskan keutamaannya. Rasulullah saw bersabda; " minta bantuanlah dalam menyelesaikan permasalahan kalian melalui musyawarah." .. tidak akan berhasil seorang yang hanya mengikuti pendapatnya sendiri dan tidak ada seorangpun yang akan hancur hanya karena bermusyawarah."[vi].



[i] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, PT Rineka Cipta, Jakarta Juni 1994, cet pertama, hal 1.

[ii] Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, PT Mizan Bandung November 1998 Cetakan VI hal. 94-96.

[iii] H.A Dzajuli, Fiqh Siyasah; Implimentasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Kencana Jakarta 2003, Cetakan Ketiga edisi Revisi, hal. 23

[iv] Kuntowijono, Identitas Politik Umat Islam, PT MIzan Bandung, Cet Pertama 1997, hal 232

[v] Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, Gema Insani Press Cet. Pertama 1997 hal.66.

[vi] Muhammad Dhiauddin Rais, Teeori Politik Islam, Gema Insani Press Jakarta, Cetakan pertama 2001, hal. 272.

0 comments: